Ketika seorang penulis memainkan
jemarinya diatas papan keyboard dan ia mlulai mengandalkan halusianasinya untuk
berfikir sebanyak celah kosong diatas kepalanya… berfikir, tapi lagi-lagi isi
dalam kepala ini seolah tak stabil mengandalkan perannya. Semakin asik bermain
huruf demi huruf tapi tak ada yang jitu membentuk sebuah paragraf menarik.
Setiap orang bukankah bisa bisu
melawan kata-kata karena ulahnya, semakin saja kebisuannya diperparah dengan
2,3,5,bahkan berpuluh-puluh tahun masa silamnya. Menyedihkan bukan? Dan saat
ini tulisan ini berbelok lagi menuju beberapa tahun silam itu lagi.
Olehmu.. catatan yang terbuka
oleh selah-selah jemari yang saling bersingungan…dulu di lembar ini ada tulisan
yang ku coret kemudian kulangi lagi di lembar
berikutnya.. apa itu? menuis namamu. Lembaran ini semakin menegaskanku
bahwa aku seperti seekor semut yang sedang menggali sarang untuk mengubur
dirinya sendiri.
Tak lagi, aku janji tak lagi
untuk mengasah kenangan yang bisa menusuk kapanpun otakku berhenti untuk
berfikir. Tak ingin lebih dulu setan
mengendalikan otakku, kemudian ia
semakin tak tahu diri untuk
mengendalikan hatiku.
Di lembar berikutnya ada benci terus
saja meraung-raung sosoknya.tapi uniknya itu tak berlangsung lama. seorang
datang dan bilang “ aku beri penghapus dimana hanya orang tertentu saja yang
bisa menerimanya”. Kemudian aku menghapusnya,,, tapi org itu bilang lagi ‘ cara
menghapusnya tidak semudah menghapus tinta diatas kertas putih’. Itu lah pelajaran
bagaimana menutup kenangan.
Sulit, ini bagiku sulit menghapus
kebencian yang bukan lagi hanya berbekas, tapi terpatri sudah. Aku tak mau
belajar membodohi diriku sendiri… dilmbar berikutnya aku mulai bilang “yang
kecil akan menjadi besar”. Aku tertawa dilembaran ini.. tanganku bilang lalu
menulis “ aku bahagia menjadi seorang sahabatmu” lagi-lagi tanganku mulai
membohongi hatiku..
Aku lelah mengandalkan saat
bentuk hati yang tak tau rasanya bertrimakasih.. tak pernah sejalan dengan isi
kepalaku, selalu bilang ini sulit bahkan tak menepi… hilang arah lewat lembar
terakhir aku tak lagi menulis kata-kata ku dengan tinta merah yang biasanya ada
setetes dua tetes kata yang rusak akibat
mataku yang masih saja cengeng. Di lembar itu aku sulam dengan rajutan
yang kubuat terlebih dahulu polanya. Kau tahu apa yang aku sulam di lembar
terakhirku..aku hanya bilang “ pergilah dan aku akan pergi jauh dari kedua
pasang matamu, mulanya kau mungkin masih menungguku,tapi perlahan sepasang
matamu hanya setitik yang kulihat sampai pada akhirnya kedua mata itu hilang dan aku Bangga mengiklaskanmu pada
tuhan". Dimana tak akan pernah ada yang terlahir untuk abadi, termasuk cinta
yang dibanjiri air mata dan aku mulai berfikir lagi betapapun hanya sebatas air
mata, tapi air mata tetap saja milik-Nya, dan segala sesuatu miliknya pasti akan dimintai
pertangungjawaban.
(for my friends… semoga suka sama
kata’nya hanya ini yang bisa saya berikan untuk setidaknya mengurangi masa-masa
yang tidak menyenangkan dalam hidupmu, move on girls karena hidup terlalu singkat
untuk ditangisi)