Jumat, 19 Juli 2013

Menangis Saja !!!



Momen ngilu itu ketika kita kembali lagi mengulang keluguan kita dulu layaknya anak kecil yang dibilang cengeng sama orang tua. Ini  …itu… gampang nangis, mata rasanya gampang meleleh dikarenakan sebab yang sepele, mungkin karena dulu pola pikir anak kecil adalah lebih mengarah pada sudut pandang dunianya yang terbatas. 

Berbeda jika dibandingkan dengan versi cengeng jama sekarang, kita lebih peka dengan interaksi kehidupan, Kadang cengeng juga merupakan bentuk-bentuk keadaan yang bersinggungan dengan hati. Hati yang tak lagi memberikan ruang gerak antara logika dalam kapasitasnya. 

Disituasi ini ada banyak kekuatan yang saling tarik menarik, kadang manusia dewasa begitu lugu seperti bocah kanak-kanak yang dengan mudah melelehkan air matanya, karena banyak hal. Kalau saya, menangis itu adalah memastikan bahwa dimana hati itu tidak mati dengan sisi ego diri. Kadang menangis bisa memberikan angin segar untuk menghirup kejadian berikutnya yang harus dilewati. 

Dan saya, pun wanita lain pada umumnya lebih memilih menangis ketika apa yang ditampung dihati itu sudah tidak ada kapasitasnya. Banyak hal yang bisa membuat kita bertingkah bak anak polos karena menangisi beberapa hal. Entah itu ketika ada benturan-benturan disekeliling kita yang tak bisa sinkron dengan hati atau mungkin ketika merasa diri ini tak berdaya dan bodoh tertindas oleh  berbagai kasus dan banyak hal. 

Buku yang cukup menginspirasi saya yakni berudul “ jangan menjadi wanita cengeng”, karya Pipiet senja. Pada saat itu hanya hening ketika melihat judul sampulnya, seperti pepatah mengatakan “don’t judge book from the covers”. Tapi kepolosan membuat saya merasa menjadi manusia yang ingin tahu bahwa judul itu memang memiliki evek domino bagi siapapun.

Isi dari buku ini tidak lain adalah menceritakan bagaimana ketangguhan beberapa wanita menghadapi masalah pekik dalam hidupnya yang mungkin tak seberuntung kita. Dulu, saya menilai ketangguhan seseorang ketika ia mampu menahan air matanya di belakang layar, tapi versi itu berubah saat kita memang tidak harus mengajari hati kita untuk tidak menangis disaat harus menangis. 

Kalian pasti pernah merasakan menahan tangis, yang ingin tumpah hanya untuk dibilang “saya kuat!”, tapi "sebenarnya lemah". Setelahnya ada dimana waktu terbodoh untuk kita menumpahkan tangisan yang tertahan, dan itu sangat menjengkelkan, hanya memenuhi rongga di paru-paru hanya untuk sekedar bilang “saya tidak ingin terlihat cengeng”. 

Naïf memang, saya pun kadang merasakan momen dimana saya tidak pernah terlihat cengeng dimata mereka, mereka selalu memandang lebar matanya untuk tetap jernih menilai senyuman saya. Dan yang terpenting citra diri untuk tidak memangis mengharuskan saya belajar menjadi manusia munafik tanpa retorika pahit setiap kehidupan. Saya sadar banyak hal yang jauh bersinggungan dalam kehidupan, banyak keadaan diamana ada saatnya diri ini merasa terpojok dan tersisihkan, tapi saya tahu hanya bisa menahan diri untuk terlihat tak seringkih keeadaan. 

Kadang mungkin, dikesendirian menangis justru lebih melegakan nafas dan menentramkan batin karena dimana momen ini kita bisa menghabiskan beragam ekspresi sedih pada-Nya. Tapi kita juga harus ingat ketika dikeramaian ada hal yang tidak bisa kita tahan untuk menagis, kenapa harus diahan?, menangislah saat itu juga. Karena tidak ada yang melegakan dalam hidup ketika kita bisa menangis pada saat dimana kita diharuskan untuk menangis, bukan karena kita cengeng. Tapi karena kita tahu betul bahwa tidak dengan syarat “tidak cengeng” kita bisa dinilai tangguh.Setuju??

Sumber gambar : sosbud.kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar